Act a Little Kinder than Is Necessary

/ Monday, December 14, 2015 /
Just want to leave this here.
My soon-to-be New Year's resolution? Idk yet. It has a huge potential tho.
Thanks to Mr. Tushman.

Menyaring Budaya Asing

/ Sunday, November 1, 2015 /
It's been a year since the last time I updated this blog and I've been missing it. Yah, selama ini materi sih ada. Cuman gue lebih milih untuk pake waktu yang ada untuk bikin entah paper entah presentasi entah ini entah itu. Bosan. Dan gue juga akhir-akhir ini kebanyakan main-main sama gambar dan gambar bergerak. Kangen juga main-main sama huruf dan kata (makalah ga termasuk, itu tuntutan peran). 

Nah, hmm... Lo suka ga dikritik? Gue suka. Karena dengan ada kritik berarti ada orang yang setidaknya udah luangin waktu dan pemikirannya untuk melihat, mengamati, dan mengkritisi kita atau karya kita. Tapi gue lebih suka kritik yang diikuti dengan saran. Ngata-ngatain mah gampang, ngasih solusi beda lagi.

Menurut gue sih bagus kalau lo mau dengerin omongan orang. Tapi apakah semua omongan orang harus lo simpan dalam hati dan langsung mengubah cara lo berpikir dan cara lo bertindak? 

Menurut gue nggak. 

Semua informasi harus lo filter. Karena lo bakal capek sendiri kalo semuanya lo proses. Iya, kita sebagai manusia memang punya akal budi, otak, kepintaran. Tapi lo tetap aja manusia, punya batas. Pake kepintaran lo buat milah-milah mana yang penting mana yang nggak. Ingat ga pelajaran PKn atau IPS dulu di sekolah tentang menerima budaya asing? Gue selalu ingat sama kalimat yang kurang lebih bunyinya "Menyaring budaya asing yang masuk" yang intinya, biar Indonesia bisa bertahan di zaman globalisasi ini, kita, sebagai warga negara yang baik, harus mampu mengikuti perkembangan sambil tetap mempertahankan budaya asli kita dengan cara mengambil nilai-nilai yang baik dari luar dan membuang nilai-nilai yang ga sesuai sama budaya kita. 

Nah, coba penyaringan kayak gitu lo terapin juga di kehidupan sehari-hari. Tiap hari lo pasti berinteraksi sama orang lain. Walaupun lo cuma goler-goler di kamar, mager keluar, ada kalanya lo laper dan harus pesen McD dan poof! muncullah si mas-masnya dan poof! lo sudah berinteraksi dengan seorang manusia hari itu. Dan hari itu lo memang males banget ngapa-ngapain, apalagi mandi, sisiran, ganti baju. Lo keluar deh tuh, buka pintu buat ambil pesanan lo. Si mas-mas McD ngasi pesenan lo dan lo kasih duitnya. Karena si mas-mas ini terlalu ramah, dia ajak lo ngomong. "Mbak (atau mas atau ibu atau bunda, tergantung lo pengennya dipanggil apa), kok kusem amat? He he." Yah, berhubung dia bukan siapa-siapa lo, lo paling cuma bales "Iya nih, mas, lagi males ngapa-ngapain he he. Makasih ya, mas!" sambil senyum-senyum, terus udah deh doi cabut nganterin pesenan lain. Lo ga bakal peduli-peduli amat sama komentar dia. Yak, berarti hari itu lo sukses melakukan "penyaringan" kayak di buku IPS tadi.

Beda permasalahannya kalau yang komentarin lo adalah orang-orang yang (entah kenapa) penting di hidup lo dan komentarnya cukup membuat baper kalau diterima mentah-mentah. Dan terjadinya berulang-ulang. Misalnya, temen lo bilang "Ih, idung lo tuh rada mencong ke kanan ya?" Awalnya sih biasa aja. Tapi temen lo ini intens banget nih memberikan perhatian ke idung lo, sampe-sampe hampir tiap hari dia ngomong gitu. Kemudian dia mulai memperhatikan anggota tubuh lo yang lain juga dan mulailah muncul komentar-komentar baru. "Lah, tebel juga tuh bibir!" "Lo buka WC umum khusus lalet ya? Beranak terus tuh tai lalet." Dia pun semakin kreatif bikin kalimat-kalimat baru setiap harinya buat ngomentarin lo. Temen-temen lo yang lain mulai ikut-ikutan. Kemudian lo baper. Kemudian lo tersadar bahwa temen-temen se-peer group lo cakep-cakep; mereka jadi duta produk ini, duta wilayah itu, model majalah ini, tercakep sefakultas itu. Kemudian lo minder. Kemudian lo jadi stress. Salah siapa?

Ya salah lo lah!

Udah gue bilang, semua informasi harus lo filter dulu. Kalau semua lo terima mentah-mentah, semuanya lo jadiin pikiran, energi lo keburu habis, ga cukup lagi buat ngurusin yang lebih penting. Atau kalau lo risih (dan lo cewek (aduh jadi inget gue pernah dianggap feminist)), lo bisa pake makeup. Gue percaya sama the power of makeup walau gue ga pake soalnya memang ga suka (dan ga bisa). "Tapi nanti mereka malah komentar lagi kalau gue tiba-tiba pake makeup." Ya udahlah, omongan orang emang ga ada abisnya. Lo ya lo. Lo jalanin hidup lo. Mereka jalanin hidup mereka. Lo pernah nonton video seleb-seleb Youtube? Semakin famous mereka, semakin banyak yang komentar. Apakah semua komentar diladenin satu-satu? Nggak. Nah, konsepnya kurang lebih sama kayak gitu. Semakin lo ingin berubah jadi lebih baik, semakin banyak komentar-komentar dari luar.

Intinya sih, accept yourself. Kalau mau berubah, berubahlah. Kalau ada kesempatan jadi lebih baik, kenapa ga dipake?

Gue bisa nulis (well, ngetik) kayak gini bukan karena hidup gue selaw-selaw aja. Gue pernah ngerasain ga enaknya mikirin semua kata orang. Been there, done that. Kemudian gue disadarkan sama orang-orang terdekat gue bahwa gue ga seburuk itu. Gue bisa improvisasi kalo gue emang ga nyaman sama apa kata orang. Komentar orang ga akan habis. Pinter-pinternya gue aja buat saring mana yang penting mana ya nggak.

Setelah lo tau ga enaknya dibilangin ini itu sama orang lain, jangan balas dendam dengan jelek-jelekin orang. Bersikaplah baik sama orang lain. Ga bakal rugi kok, malah bisa jadi energi positif buat diri lo sendiri (sok tau ya, tapi ini yang gue rasain).

Gitu.

Everything Happens for a Reason

/ Sunday, November 23, 2014 /
Iya, judul postingan ini basi, mainstream. Beberapa orang di luar sana bahkan percaya bahwa ungkapan "everything happens for a reason" (EHFAR) itu tidak tepat. Ungkapan itu hanya dianggap sebagai omong kosong untuk diucapkan sebagai kalimat motivasi bagi mereka yang gagal atau tertimpa musibah. Namun, ada juga yang membuat ungkapan EHFAR sebagai pegangan hidup agar dapat terus maju dan tetap optimis dalam menjalani hidup yang dianggap lebih banyak sialnya daripada baiknya.

Mengapa terdapat dua pandangan yang berbeda terhadap EHFAR? Menurut saya, dua pandangan itu ada karena terdapat dua sisi pemahaman EHFAR. Pertama, pemahaman everything happens for a reason and the reason is something you have done in the past. Maksudnya, segala sesuatu bisa terjadi kepada seseorang karena "kesalahan" orang itu sendiri. Saya menganggap pemahaman ini sifatnya sempit. Contoh kasusnya adalah seorang calon mahasiswa gagal mendapat universitas dan jurusan impiannya dan malah mendapat universitas dan jurusan lain karena ia kurang persiapan untuk mengikuti tes, sering malas-malasan, dan menganggap remeh saingan-saingannya. Contoh lain misalnya seorang mahasiswa sukses dalam studi dan kepanitiaan karena ketekunannya dan sifatnya yang mudah bersosialisasi. 

Kedua, pemahaman everything happens for a reason and the reason is something better that you will receive in the future. Kebalikan pemahaman yang pertama, pemahaman kedua ini menurut saya sifatnya lebih luas karena merujuk pada masa depan yang tidak bisa diprediksi, hanya berupa kemungkinan-kemungkinan. Misalnya, (lagi, saya menggunakan contoh ini) seorang calon mahasiswa yang gagal mendapat universitas dan jurusan impiannya dan malah mendapat jurusan dan universitas lain. Menurut pemahaman kedua, hal itu dapat terjadi karena jurusan dan universitas yang sekarang didapatkan oleh si calon mahasiswa tersebut lebih dapat menjamin masa depannya (entah dalam kehidupan perkuliahnya, IPKnya atau kariernya nanti) daripada jurusan dan universitas yang ia idam-idamkan. Walau pada awalnya sulit bagi si calon mahasiswa tersebut untuk menerima apa yang terjadi, lama-lama ia akan merasa bahwa ia berada di tempat yang tepat. Mungkin saja bila ia mendapatkan yang ia inginkan, ia hanya senang sesaat, namun banyak menghadapi kesulitan-kesulitan dalam menjalani perkuliahan di kemudian hari dan pada akhirnya merasa this is not where I am supposed to be

Pada akhirnya, orang tentu bebas memilih mau mengikuti pemahaman yang mana. Saya sendiri lebih memilih pemahaman kedua. Saya percaya seburuk apapun masalah, pasti ada hikmah dibaliknya. Bila saya mendapat nilai yang buruk dalam sebuah ujian karena memang malam sebelumnya saya tertidur saat belajar (sampai di sini, ini sesuai dengan pemahaman yang pertama), saya menganggap nilai yang buruk tersebut adalah teguran yang dimaksudkan agar saya lebih termotivasi dalam menghadapi ujian-ujian selanjutnya dan tidak mengulangi kebiasaan tertidur saat belajar (sesuai pemahaman yang kedua). Alasan lain saya menyukai pemahaman kedua adalah melatih saya untuk terus optimis dan berpikir positif.

So, I do believe that everything happens for a reason.

Oh Ibu

/ Friday, October 31, 2014 /
Tiba-tiba teringat lagu musikalisasi puisi ini.
Mungkin karena kemarin sempat sedikit berbincang dengan seorang teman dan seorang senior mengenai Tere-Liye, penulis novel "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin" yang menjadi rujukan pembuatan puisi yang dilagukan ini.
Rindu teman-teman yang bersama-sama berjuang dalam proses pembuatannya.
Rindu yang di Bekasi.
Rindu yang di Jakarta.
Rindu yang di Surabaya.
Rindu kegilaan kalian, ledakan tawa kalian, keanehan kalian, curhatan kalian, luapan kekesalan kalian, kepedulian kalian, dan... obrolan kita tentang cita-cita, tentang masa depan.
Kapan kita bertemu lagi?
Karya apa lagi yang bisa kita buat?
Karya apa yang kalian buat di tempat yang baru?
Yang di Depok ini tidak sabar mendengar cerita-cerita baru kalian saat kita bertemu nanti.

*Musikalisasi puisi oleh Antonia, Caesar, Elvryda, Everly, dan Vania. Dari novel "Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin" karangan Tere-Liye (halaman 193-224).

Menerima

/ Tuesday, October 21, 2014 /
Ada satu hal yang dulu ga bisa lepas dari pikiran gue. Satu hal yang gue pikir ga akan bisa gue terima kalau dia ada di hidup gue. Satu hal yang kadang menjadi pertanyaan orang lain dan hanya bisa gue jawab dengan senyuman. Satu hal yang, setelah sekian tahun gue hidup, ga pernah ada. Ternyata bukan ga pernah ada. Belum ada.

Sampai akhirnya diputuskan bahwa gue harus memiliki dia. Dia yang katanya akan menjadi pelengkap hidup gue - tapi gue ga percaya. Dia yang gue tolak mentah-mentah. Dia yang membuat tangisan gue sia-sia terbawa angin. Dia yang gue takutkan akan mengganti posisi gue. Dia yang pasti akan merepotkan. Dia yang pasti akan mengganggu. Dia yang ini.... Dia yang itu.... Dia yang....Dia... Dia...

Sampai akhirnya dia bukan lagi dia yang gue pikir. Bukan dia yang berubah supaya bisa gue terima, tapi gue yang berubah. Gue mulai bisa menerima dia. Bukan, bukan mulai bisa. Gue udah sepenuhnya menerima dia. Awalnya sulit. Terlalu sulit. Tapi gue bisa. Gue bisa melawan semua prasangka. Gue bisa melawan segala ego.

Sampai akhirnya gue merasa ga lengkap kalo dia ga ada. Tanpa sadar gue merindukan dia. Entah, gue juga ga mengerti kenapa gue bisa melawan mindset yang udah berakar kuat di otak gue selama bertahun-tahun. Istilahnya, udah menjadi ideologi dasar gue. Mungkin karena untuk menerima, bukan otak yang dibutuhkan. Bukan logika. Bukan pertimbangan-pertimbangan. Bukan tentang untung-rugi. Bukan itu...

Menerima itu tentang perasaan. Tentang hati yang terbuka. Tentang nurani yang tersentuh.

Menerima itu butuh keikhlasan. Keikhlasan untuk menanggalkan segala pikiran, segala prasangka demi dia yang menggerakkan hati dan melumpuhkan logika.

Currently Reading

Instagram (@elvrydasgl)

 
Copyright © 2010 WE ALL NEED CAFFEINE, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger + Elvryda F. Sagala