Ada satu hal yang dulu ga bisa lepas dari pikiran gue. Satu
hal yang gue pikir ga akan bisa gue terima kalau dia ada di hidup gue. Satu hal
yang kadang menjadi pertanyaan orang lain dan hanya bisa gue jawab dengan
senyuman. Satu hal yang, setelah sekian tahun gue hidup, ga pernah ada.
Ternyata bukan ga pernah ada. Belum ada.
Sampai akhirnya diputuskan bahwa gue harus memiliki dia. Dia
yang katanya akan menjadi pelengkap hidup gue - tapi gue ga percaya. Dia yang
gue tolak mentah-mentah. Dia yang membuat tangisan gue sia-sia terbawa angin.
Dia yang gue takutkan akan mengganti posisi gue. Dia yang pasti akan
merepotkan. Dia yang pasti akan mengganggu. Dia yang ini.... Dia yang itu....
Dia yang....Dia... Dia...
Sampai akhirnya dia bukan lagi dia yang gue pikir. Bukan dia
yang berubah supaya bisa gue terima, tapi gue yang berubah. Gue mulai bisa
menerima dia. Bukan, bukan mulai bisa. Gue udah sepenuhnya menerima dia.
Awalnya sulit. Terlalu sulit. Tapi gue bisa. Gue bisa melawan semua prasangka.
Gue bisa melawan segala ego.
Sampai akhirnya gue merasa ga lengkap kalo dia ga ada. Tanpa
sadar gue merindukan dia. Entah, gue juga ga mengerti kenapa gue bisa melawan
mindset yang udah berakar kuat di otak gue selama bertahun-tahun. Istilahnya,
udah menjadi ideologi dasar gue. Mungkin karena untuk menerima, bukan otak yang
dibutuhkan. Bukan logika. Bukan pertimbangan-pertimbangan. Bukan tentang
untung-rugi. Bukan itu...
Menerima itu tentang perasaan. Tentang hati yang terbuka.
Tentang nurani yang tersentuh.
Menerima itu butuh keikhlasan. Keikhlasan untuk menanggalkan
segala pikiran, segala prasangka demi dia yang menggerakkan hati dan
melumpuhkan logika.
0 comments:
Post a Comment