Menyaring Budaya Asing

/ Sunday, November 1, 2015 /
It's been a year since the last time I updated this blog and I've been missing it. Yah, selama ini materi sih ada. Cuman gue lebih milih untuk pake waktu yang ada untuk bikin entah paper entah presentasi entah ini entah itu. Bosan. Dan gue juga akhir-akhir ini kebanyakan main-main sama gambar dan gambar bergerak. Kangen juga main-main sama huruf dan kata (makalah ga termasuk, itu tuntutan peran). 

Nah, hmm... Lo suka ga dikritik? Gue suka. Karena dengan ada kritik berarti ada orang yang setidaknya udah luangin waktu dan pemikirannya untuk melihat, mengamati, dan mengkritisi kita atau karya kita. Tapi gue lebih suka kritik yang diikuti dengan saran. Ngata-ngatain mah gampang, ngasih solusi beda lagi.

Menurut gue sih bagus kalau lo mau dengerin omongan orang. Tapi apakah semua omongan orang harus lo simpan dalam hati dan langsung mengubah cara lo berpikir dan cara lo bertindak? 

Menurut gue nggak. 

Semua informasi harus lo filter. Karena lo bakal capek sendiri kalo semuanya lo proses. Iya, kita sebagai manusia memang punya akal budi, otak, kepintaran. Tapi lo tetap aja manusia, punya batas. Pake kepintaran lo buat milah-milah mana yang penting mana yang nggak. Ingat ga pelajaran PKn atau IPS dulu di sekolah tentang menerima budaya asing? Gue selalu ingat sama kalimat yang kurang lebih bunyinya "Menyaring budaya asing yang masuk" yang intinya, biar Indonesia bisa bertahan di zaman globalisasi ini, kita, sebagai warga negara yang baik, harus mampu mengikuti perkembangan sambil tetap mempertahankan budaya asli kita dengan cara mengambil nilai-nilai yang baik dari luar dan membuang nilai-nilai yang ga sesuai sama budaya kita. 

Nah, coba penyaringan kayak gitu lo terapin juga di kehidupan sehari-hari. Tiap hari lo pasti berinteraksi sama orang lain. Walaupun lo cuma goler-goler di kamar, mager keluar, ada kalanya lo laper dan harus pesen McD dan poof! muncullah si mas-masnya dan poof! lo sudah berinteraksi dengan seorang manusia hari itu. Dan hari itu lo memang males banget ngapa-ngapain, apalagi mandi, sisiran, ganti baju. Lo keluar deh tuh, buka pintu buat ambil pesanan lo. Si mas-mas McD ngasi pesenan lo dan lo kasih duitnya. Karena si mas-mas ini terlalu ramah, dia ajak lo ngomong. "Mbak (atau mas atau ibu atau bunda, tergantung lo pengennya dipanggil apa), kok kusem amat? He he." Yah, berhubung dia bukan siapa-siapa lo, lo paling cuma bales "Iya nih, mas, lagi males ngapa-ngapain he he. Makasih ya, mas!" sambil senyum-senyum, terus udah deh doi cabut nganterin pesenan lain. Lo ga bakal peduli-peduli amat sama komentar dia. Yak, berarti hari itu lo sukses melakukan "penyaringan" kayak di buku IPS tadi.

Beda permasalahannya kalau yang komentarin lo adalah orang-orang yang (entah kenapa) penting di hidup lo dan komentarnya cukup membuat baper kalau diterima mentah-mentah. Dan terjadinya berulang-ulang. Misalnya, temen lo bilang "Ih, idung lo tuh rada mencong ke kanan ya?" Awalnya sih biasa aja. Tapi temen lo ini intens banget nih memberikan perhatian ke idung lo, sampe-sampe hampir tiap hari dia ngomong gitu. Kemudian dia mulai memperhatikan anggota tubuh lo yang lain juga dan mulailah muncul komentar-komentar baru. "Lah, tebel juga tuh bibir!" "Lo buka WC umum khusus lalet ya? Beranak terus tuh tai lalet." Dia pun semakin kreatif bikin kalimat-kalimat baru setiap harinya buat ngomentarin lo. Temen-temen lo yang lain mulai ikut-ikutan. Kemudian lo baper. Kemudian lo tersadar bahwa temen-temen se-peer group lo cakep-cakep; mereka jadi duta produk ini, duta wilayah itu, model majalah ini, tercakep sefakultas itu. Kemudian lo minder. Kemudian lo jadi stress. Salah siapa?

Ya salah lo lah!

Udah gue bilang, semua informasi harus lo filter dulu. Kalau semua lo terima mentah-mentah, semuanya lo jadiin pikiran, energi lo keburu habis, ga cukup lagi buat ngurusin yang lebih penting. Atau kalau lo risih (dan lo cewek (aduh jadi inget gue pernah dianggap feminist)), lo bisa pake makeup. Gue percaya sama the power of makeup walau gue ga pake soalnya memang ga suka (dan ga bisa). "Tapi nanti mereka malah komentar lagi kalau gue tiba-tiba pake makeup." Ya udahlah, omongan orang emang ga ada abisnya. Lo ya lo. Lo jalanin hidup lo. Mereka jalanin hidup mereka. Lo pernah nonton video seleb-seleb Youtube? Semakin famous mereka, semakin banyak yang komentar. Apakah semua komentar diladenin satu-satu? Nggak. Nah, konsepnya kurang lebih sama kayak gitu. Semakin lo ingin berubah jadi lebih baik, semakin banyak komentar-komentar dari luar.

Intinya sih, accept yourself. Kalau mau berubah, berubahlah. Kalau ada kesempatan jadi lebih baik, kenapa ga dipake?

Gue bisa nulis (well, ngetik) kayak gini bukan karena hidup gue selaw-selaw aja. Gue pernah ngerasain ga enaknya mikirin semua kata orang. Been there, done that. Kemudian gue disadarkan sama orang-orang terdekat gue bahwa gue ga seburuk itu. Gue bisa improvisasi kalo gue emang ga nyaman sama apa kata orang. Komentar orang ga akan habis. Pinter-pinternya gue aja buat saring mana yang penting mana ya nggak.

Setelah lo tau ga enaknya dibilangin ini itu sama orang lain, jangan balas dendam dengan jelek-jelekin orang. Bersikaplah baik sama orang lain. Ga bakal rugi kok, malah bisa jadi energi positif buat diri lo sendiri (sok tau ya, tapi ini yang gue rasain).

Gitu.

0 comments:

Post a Comment

Currently Reading

Instagram (@elvrydasgl)

 
Copyright © 2010 WE ALL NEED CAFFEINE, All rights reserved
Design by DZignine. Powered by Blogger + Elvryda F. Sagala